UU PHK

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor: 12 TAHUN 1964 (12/1964)

Tanggal: 23 SEPTEMBER 1964 (JAKARTA)

Sumber: LN 1964/93; TLN NO. 2686

Tentang: PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA

Indeks: HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA. PEMUTUSAN.


Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

bahwa untuk lebih menjamin ketenteraman serta kepastian bekerja bagi kaum buruh yang di samping tani harus menjadi kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi soko-guru masyarakat adil dan makmur, seperti tersebut dalam Manifesto Politik, beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan Undang-undang tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta;

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat 1 serta pasal 27 ayat 2 Undang-undang Dasar;
2. Undang-undang REFR DOCNM="60ppu010">No. 10 Prp tahun 1960 jo Keputusan Presiden No. REFR DOCNM="64kp239">239 tahun 1964;


Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;

MEMUTUSKAN :

I. Mencabut: "Regeling Ontslagrecht voor bepaalde niet Europe se Arbeiders" (Staatsblad 1941 No. 396) dan peraturan-peraturan lain mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebut didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan 1603 Oud dan pasal 1601 sampai dengan 1603, yang berlawanan dengan ketentuan-ketentuan tersebut didalam Undang-undang ini.

II. Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA.

Pasal 1.
(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus-menerus;
b. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadat yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.

Pasal 2.

Bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasdi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah-satu organisasi buruh.

Pasal 3.

(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelsaian Perselisihan Perburuhan Daerah (Panitia Daerah), termaksud pada pasal 5 Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

(2) Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

Pasal 4.

Izin termaksud pada pasal 3 tidak diperlukan, bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan.
Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.

Pasal 5.

(1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Derah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan kepada Panitia Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Permohonan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/ Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2, tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.

Pasal 6.

Panitia Darah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan.

Pasal 7.

(1) Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia Daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hal ini yang dimuat dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan.
(2) Dalam hal Panitia Daerah atau Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lain-lainnya.
(3) Penetapan besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur di dalam Peraturan Menteri Perburuhan.
(4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon, uangjasa dan ganti kerugian tersebut di atas.

Pasal 8.

Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Daerah, atau pemberian izin dengan syarat, tersebut pada pasal 7 ayat (2), dalam waktu empat belas hari setelah putusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi buruh/atau organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat minta banding kepada Panitia Pusat.

Pasal 9.

Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan dalam tingkat bandingan.

Pasal 10.

Pemutusan hubungan kerja tanpa izin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.

Pasal 11.

Selama izin termaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.

Pasal 12.

Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi diperusahaan-perusahaan Swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai masa kerja lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.

Pasal 13.

Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur di dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.

Pasal 14.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 1964.

PD. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dr. SUBANDRIO.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 1964.

SEKRETARIS NEGARA,

MOHD. ICHSAN.

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG No. 12 TAHUN 1964 tentang
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA.

UMUM.

Bagi kaum buruh putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketenteraman hidup kaum buruh seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja.
Tetapi pengalaman sehari-hari membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.
Berbagai jalan dapat ditempuh untuk memecahkan persoalannya. Setelah ditinjau masak-masak berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lampau, maka pada hemat Pemerintah, sistim yang dianut dalam Undang-undang ini adalah yang paling tepat bagi negara kita dalam taraf pertumbuhan sekarang.
Pokok-pokok pikiran yang diwujudkan dalam Undang-undang ini dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:
1. Pokok pangkal yang harus dipegang teguh dalam menghadapi masalah pemutusan hubungan kerja ialah bahwa sedapat mungkin pemutusan hubungan kerja harus dicegah dengan segala daya upaya, bahkan dalam beberapa hal dilarang.
2. Karena pemecahan yang dihasilkan oleh perundingan antara pihak-pihak yang berselisih sering kali lebih dapat diterima oleh yang bersangkutan dari pada penyelesaian dipaksakan oleh Pemerintah, maka dalam sistim Undang-undang ini, penempuhan jalan perundingan ini merupakan kewajiban, setelah daya upaya tersebut pada 1 tidak memberikan hasil.
3. Bila jalan perundingan tidak berhasil mendekatkan kedua pihak, barulah Pemerintah tampil kemuka dan campur-tangan dalam pemutusan hubungan kerja yang hendak dilakukan oleh Pengusaha. Bentuk campur-tangan ini adalah pengawasan prepentip, yaitu untuk tiap-tiap pemutusan hubungan Kerja oleh pengusaha diperlukan izin dari Instansi Pemerintah.
4. Berdasarkan pengalaman dalam menghadapi masalah pemutusan hubungan kerja, maka sudah setepatnyalah bila pengawasan prepentip ini diserahkan kepada Panitya Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitya Penyelesaian Perburuhan Pusat.
5. Dalam Undang-undang ini diadakan ketentuan-ketentuan yang bersifat formil tentang cara memohon izin, meminta banding terhadap penolakan permohonan izin dan seterusnya.
6. Disamping itu perlu dijelaskan bahwa bilamana terjadi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran sebagai akibat dari tindakan Pemerintah, maka Pemerintah akan berusaha untuk meringankan beban kaum buruh itu dan akan diusahakan penyaluran mereka pada perusahaan/proyek yang lain.
7. Demikian juga pemutusan hubungan kerja karena akibat modernisasi, otomatisasi, effisiency dan rationalisasi yang disetujui oleh Pemerintah mendapat perhatian Pemerintah sepenuhnya dengan jalan mengusahakan secara aktif penyaluran buruh-buruh itu keperusahaan/proyek lain.

PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1.
Cukup jelas.

Pasal 2.
Cukup jelas.

Pasal 3.
Sekiranya disini dikemukakan, bahwa jumlah sepuluh termaksud pada pasal 3 ayat (2) hanya merupakan ancar-ancar; ukuran yang penting yalah maksud/hasrat pengusaha untuk memutuskan hubungan kerja secara besar-besaran.

Pasal 4.
Dalam masa percobaan menurut hukum yang berlaku kedua pihak berwenang untuk memutuskan hubungan kerja seketika. Asas tersebut telah dipertahankan dalam Undang-undang ini.

Pasal 5 s/d 9.
Mengatur tata cara permohonan izin dan lain-lain hal yang bersifat formil, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.

Pasal 10.
Cukup jelas.

Pasal 11.
Cukup jelas.

Pasal 12.
Berdasarkan pasal 12 ini semua buruh (termasuk buruh contractor) dengan tidak menghiraukan apakah mereka buruh harian, bulanan) atau borongan (op stuikloon) dilindungi oleh Undang-undang ini.
Yang dimaksudkan dengan perusahaan, yalah perusahaan yang tidak berstatus perusahaan negara atau perusahaan daerah dan yang merupakan organisasi dari alat-alat produksi untuk menghasilkan barang-barang atau jasa guna memuaskan kebutuhan masyarakat.
Adapun mengenai pemutusan hubungan kerja diperusahaan- perusahaan negara dan daerah, Pemerintah bermaksud mengadakan peraturan tersendiri.

Pasal 13 dan 14.